KH Abdullah Syukri Zarkasyi Meninggal Dunia, Ustaz Abdul Somad Buka Memori 27 Tahun hingga ke Mesir
WARTAKOTALIVE COM, JAKARTA-- Pimpinan Pondok Pesantren Darussalam Gontor Dr KH Abdullah Syukri Zarkasyi meninggal dunia.
Abdullah Syukri Zarkasyi di rumah almarhum pada 4 Rabiul Awal 1442 H atau Rabu (21/10/2020) pukul 15:50 WIB.
Menurut rencana, almarhum akan dimakamkan hari Kamis (22/10/2020) ini sekitar pukul 10:00 di Kompleks Pemakaman Pondok Modern Darusallam Gontor (PMDG).
Ucapan duka cita datang dari sejumlah tokoh atas meninggalnya tokoh dan ulama kharismatik tersebut.
Salah satu tokoh yang sangat kehilangan adalah Ustaz Abdul Somad (UAS).
UAS pun menuliskan kenangan dengan almarhum yang telah berlangsung 27 tahun lalu di akun instagramnya.
Kenangan itu pula yang kemudian membawa UAS memutuskan untuk kuliah di Universitas Al Azhar Kairo, Mesir.
Dalam kesaksian UAS, dirinya bertemu dengan KH Abdullah Syukri Zarkasyi saat masih kelas 1 sekolah dasar (SD) di Riau.
"Anak-anak kelas VI berjas lengkap dengan dasi berbaris dari pintu gerbang pondok hingga ke aula. Kami anak-anak kelas satu tegak menanti kedatangan pak Kyai dari Gontor alumni Mesir," ujar UAS di akun medsosnya.
Dalam pandangan UAS saat itu, KH Abdullah Syukri Zarkasyi adalah sosok yang berwibawa, gagah, cerdas, orator ulung, dan ganteng.
Almarhum juga jago memberi motivasi dan membakar semangat santri atau pelajar.
"Beliau mendekati aula, ya Allah, ganteng, gagah, berwibawa. Beliau memberikan semangat pada kami. Saya ingin seperti dia. Ingin ke Cairo," ujar UAS.
Selain itu, UAS juga ingin bisa bicara lancar di depan orang banyak. Ingin bisa bahasa Arab.
"Dia membakar semangat kami. Dia KH. Abdullah Syukri Zarkasyi, MA. Peristiwa itu tahun 1993," katanya.
Kenangan terakhir UAS dengan almarhum terjadi tahun lalu ketika UAS berkunjung ke Gontor, Jawa Timur.
"Saya hanya berdoa dan memegang tangan beliau. Jari-jemarinya kuat menggenggam tangan saya. Kata keluarga beliau, 'Begitu Kyai merespon'," ujarnya.
Simak kenangan UAS terhadap almarhum secara lengkap berikut ini.
Ustadzabdulsomad_official: Anak-anak kelas VI berjas lengkap dengan dasi berbaris dari pintu gerbang pondok hingga ke aula.
Kami anak-anak kelas satu tegak menanti kedatangan pak Kyai dari Gontor alumni Mesir.
Kami menatapnya dari jauh. Beliau mendekati aula, ya Allah, ganteng, gagah, berwibawa. Beliau memberikan semangat pada kami.
Saya ingin seperti dia. Ingin ke Cairo. Ingin bisa bicara lancar di depan orang banyak. Ingin bisa bahasa Arab. Dia membakar semangat kami. Dia KH. Abdullah Syukri Zarkasyi, MA. Peristiwa itu tahun 1993.
Tahun lalu saya datang ke rumah beliau.
Saya hanya berdoa dan memegang tangan beliau. Jari-jemarinya kuat menggenggam tangan saya. Kata keluarga beliau, "Begitu Kyai merespon".
Petang ini, dapat kabar, beliau menghadap Allah, kembali ke rahmat-Nya.
Santri-santri beliau menyebar ke seluruh penjuru negeri. Amal jariyah beliau mengalir hingga akhir masa.
الفاتحة
A Fuadi Dibilang Kamu Sudah Bikin Bom!
Salah satu tulisan duka cita dan kenangan terhadap almarhum ditulis oleh A Fuadi, penulis sejumlah novel best seller, di antaranya Negeri 5 Menara.
A Fuadi adalah santri Pondok Pesantren Modern Darussalam Gontor.
Fuadi mengaku bisa menjadi penulis hebat dan seperti sekarang ini karena pernah diayun-ayun dibuayan sayang Kiyai Syukri.
Kata-kata sang kiyai bagaikan energi setrum yang mahadahsyat yang selalu ditunggu para santri Gontor.
Berikut tulisan A Fuadi yang dikutip Warta Kota dari gontor.ac.id.
Buayan Sayang Pak Kiai: Catatan kecil tentang KH Abdullah Syukri Zarkasyi
Oleh: A. Fuadi
Saya seperti sekarang ini, antara lain karena pernah diayun-ayun di “buayan sayang” seorang kiai, Pak Syukri. Buayannya: kata-kata penuh energi yang menyentrum.
Ketika saya nyantri di Gontor 1988-1992, petuah KH Abdullah Syukri Zarkasyi selalu kami tunggu-tunggu.
Temanya macam-macam: visi ke depan, nilai pondok, travelogue melawat ke Amerika dll. Pidatonya itu bagai buayan bagi jiwa kami, ceritanya berayun, tapi mengalir deras, menyetrum, menyemangati.
Seingat saya, Pak Syukri selalu membanggakan santrinya, membesarkan hati kami, dan kami selalu dianggap anak-anak terbaiknya.
Kalau beliau sudah naik podium, sudah pasti seisi aula bisa gemuruh oleh tepuk tangan atau oleh suara ketawa kami mendengar humornya. Tapi begitu suara ketawa hilang, sesaat kemudian beliau mengubah nada bicara, jadi tegas.
Kami seketika memasang muka serius, karena saat itu Pak Syukri menuntut kami mengerahkan segala upaya dan doa untuk menjadi yang terbaik.
Beliau memang tak kenal tawar menawar untuk hasil yang terbaik, yang tercepat, yang terdepan.
Target dan mimpi-mimpinya besar. Dan energi itu mengalir ke kami, untuk juga berani bermimpi besar. Mimpi yang ditumpangkan sepenuhnya pada doa, pada usaha, pada keikhlasan.
Biasanya, selepas mendengar wejangannya, rasanya kami bagai bisa terbang dan melakukan apa saja.
Saat saya kelas akhir di Gontor, Pak Syukri mengajar pelajaran mantiq (logika) di kelas saya. Kelas ini juga kami tunggu-tunggu, karena kapan lagi langsung diajar kiai.
Yang menyenangkan, Pak Syukri gemar berbagi hikayah, atau cerita-cerita inspiratif di luar pelajaran. Kami kembali dibuai di buayannya.
Setamat Gontor, lama saya tidak kontak dengan Pak Syukri, sampai kemudian saya menulis novel Negeri 5 Menara tahun 2009.
Di beranda rumah beliau di dekat pohon asem itu, saya untuk pertama kali berhadapan satu lawan satu dengan beliau. Saya deg-degan.
“Kamu sudah saya tunggu-tunggu. Kamu itu sudah membuat bom. Bom kebaikan dalam bentuk buku, mengenalkan apa itu pesantren.”
Kira-kira begitu kata-kata beliau yang saya ingat. Alangkah hebatnya beliau membuai jiwaku.
Tahun 2011 saya sowan lagi ke beliau, kali ini untuk meminta izin melakukan syuting film Negeri 5 Menara di Gontor.
Hampir tidak mungkin terjadi, tapi beliau akhirnya mengiyakan, dan bahkan ikut pula jadi cameo. Setahun setelah itu Pak Syukri kena stroke dan sulit bicara.
Tapi dalam kondisi sulit ini Pak Syukri pun terus mengayunkan buayannya dengan cara lain.
Dengan penuh semangat, walau stroke, beliau tetap hadir di acara-acara pondok. Membuat kita yang melihat, terharu, tapi juga tersemangati. Terinspirasi.
Terima kasih Pak Syukri karena terus mengayunkan buayan sayang buat kami sampai akhir hayat.
Kini buayan itu boleh berhenti berayun ketika Pak Syukri diantar ke liang lahat esok hari.
Tapi energi sentrum Pak Syukri, akan terus berdenyut di hati kami, sepanjang hayat dikandung badan. Allahummagfirlahu warhamhu wa’afihi wa’fuanhu. Selamat jalan kiaiku, kiai kami.
Sumber Dari Warakota live